Sabtu, 03 Juni 2017

perjanjian dalam bisnis




Perjanjian adalah suatu persetujuan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Perjanjian yang dimaksud diatas adalah pengertian perjanjian yang masih dalam arti yang masih sangat luas, karena pengertian tersebut hanya mengenai perjanjian sepihak dan tidak menyangkut mengikatnya kedua belah pihak.
Perjanjian hendaknya menyebutkan bahwa kedua belah pihak harus saling mengikat, sehingga timbul suatu hubungan hukum diantara para pihak. Perjanjian yang di buat oleh para pihak berlaku sebagi Undang-Undang bila terjadi pelanggaran isi perjanjian. Pada hal perjanjian, KUHPdt hanya bersifat sebagai pelengkap dan bukan sebagai hukum yang utama.
Kontrak adalah bagian dari bentuk suatu perjanjian. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa pengertian perjanjian yang termuat dalam Pasal 1313 KHUPdt adalah sangat luas, maka kontrak dapat menjadi bagian dari suatu perjanjian. Akan tetapi yang membedakan kontrak dengan perjanjian adalah sifatnya dan bentuknya. Kontrak lebih besifat untuk bisnis dan bentuknya perjanjian tertulis. Kontrak memiliki suatu hubungan hukum oleh para pihak yang saling mengikat, maksudnya adalah antara pihak yang satu dan dengan yang lainnya saling mengikatkan dirinya dalam kontrak tersebut, pihak yang satu dapat menuntut sesuatu kepada pihak yang lain, dan pihak yang dituntut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
            Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, S.H.,L.LM.,Ph.D, dalam melakukan suatu transaksi bisnis antara satu pelaku bisnis dengan pelaku bisnis lainnya sudah dapat dipastikan adanya suatu kesepakatan. Kesepakatan ini bermacam-macam, mulai dari kesepakatan untuk bekerja sama, pinjam-meminjam uang, membuat perseroan terbatas, menggunakan hak atas kekayaan intelektual, dan lain sebagainya. 

            Pada umumnya kesepakatan yang dicapai antara dua pelaku bisnis atau lebih dituangkan dalam suatu bentuk tertulis kemudian ditangani oleh para pelaku bisnis. Dokumen tersebut seringkali disebut sebagai “kontrak bisnis”. Dalam sekala yang lebih besar, kontrak bisnis itu mencangkup pula kontrak bisnis internasional, kontrak bisnis berdimensi publik, dan perjanjian internasional.Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat-syarat sah yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPdt yaitu:
 
 a. Kesepakatan atau persetujuan Para Pihak
            Sepakat yang dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjia yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, jadi mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik.
b. Kecakapan Para Pihak dalam membuat suatu Perjanjian
            Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikiranya adalah cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksudkan cakap menurut hukum adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin atau pernah menikah.
c. Suatu hal tertentu
            Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada atau sudah berada ditangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak perluuntuk disebutkan.
d. Suatu causa atau sebab yang halal ;
            Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-undang, kesusilaan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Syarat-syarat dalam suatu perjanjian dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu :
1. Syarat subyektif ;
Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi :
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
b) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
2. Syarat obyektif ;
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu sendiri, yang meliputi :
a) Suatu hal tertentu,
b) Suatu causa atau sebab yang halal.
Penerapan Kontrak Standar dalam Dunia Bisnis dan Perdagangan.

Kontrak standar merupakan perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual) dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak lain (konsumen) hanya memiliki 2 pilihan yakni menyetujui atau menolaknya.
Definisi dari kontrak standar itu sendiri adalah kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dan didalam kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informative tersebut saja dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya memiliki sedikit kesempatan guna menegosiasi maupun mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut. Sehingga sangat berat sebelah.
Ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah:
1.      Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.
2.      Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian
3.      Terdororng oleh kebutuhannya debitur terpakasa menerima perjanjian itu
4.      Bentuk tertentu (tertulis)
5.      Dipersiapkan secara missal dan kolektif.
Implementasi kontrak standar biasa digunakan dimana banyak diterapkan dalam dunia bisnis dan perdagangan dimaksudkan untuk mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis.
Adapun yang merupakan contoh-contoh dari kontrak baku yang sering dilakukan dalam praktek adalah sebagai berikut :
a. Kontrak (polis) asuransi
b. Kontrak di bidang perbankan
c. Kontrak sewa guna usaha
d. Kontrak jual beli rumah atau apartemen dari perusahaan Real Estate
e. Kontrak sewa-menyewa gedung perkantoran
f. Kontrak pembuatan credit card
g. Kontrak pengiriman barang (darat, laut dan udara)

Praktek kontrak standar tersebut menimbulkan kontroversi. Mengenai ada tidaknya Azas Kebebasan Berkontrak dalam kontrak standar itu sendiri. Sementara ada pihak yang mengatakan kontrak standar tidaklah melanggar Azas Kebebasan Berkontrak seperti yang terdapat pada Pasal 1320 Juncto1338 KUHPerdata. Artinya konsumen masih diberikan hak untuk menyetujui/ take it atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya/ leave it.

Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.  Memenuhi syarat sebagai kontrak
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni :
a.  Syarat sah umum terdiri dari:
§   Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata;
§   Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata

b. Syarat sah yang khusus terdiri dari :
§   Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu;
§   Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;
§   Syarat akte pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
§   Syarat izin dari yang berwenang.

2.  Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku
3.  Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan.
4.  Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak.
Sebab unsur “ itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “ klausa yang legal “dari pasal 1320 tersebut. Dengan demikian dapat saja suatu kontrak dibuat secara sah. Dalam arti memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata). Dan karenanya kontrak tersebut. dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan pihak ketiga. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut telah dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut.Dasar hukum dari asas ini adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Faktor-faktor Pembatalan Perjanjian

a. Batal demi hukum
Dalam hal ini perjanjian tersebut dianggap tidak pernah sah dan tidak pernah ada, dalam hal ini jika tidak terpenuhi syarat objektif yaitu syarat perihal tertentu dan syarat kausa yang diperbolehkan.

b. Dapat dibatalkan
Dalam hal ini, perjanjian tersebut baru dianggap tidak sah jika dibatalkan oleh  yang berkepentingan, jika terpenuhi syarat subjektif yaitu tercapainya kata sepakat dan kecakapan berbuat.

c. Perjanjian tidak dapat dilaksanakan
Dalam hal ini, perjanjian tidak dapat dilaksanakan karena perjanjian ini dengan syarat pengguhan, dan syarat tangguhan belum bisa dilaksanakan atau terwujud.

d. Dikenakan sanksi administrative
Dalam hal ini, adanya sanksi administrative terhadap salah satu atau kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian karena tidak terpenuhinya syarat perjanjian, tetapi tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tersebut.

e. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.

f. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.

g. Terkait resolusi atau perintah pengadilan

h. Terlibat hukum

i. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian

            Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-Undang. Semua  persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang

            Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.

CONTOH KASUS

SENGKETA PT. METRO BATAVIA DENGAN PT. GARUDA MAINTENANCE FACILITY AERO ASIA

            PT. Metro Batavia salah satu perusahaan pesawat terkemuka tersandung masalah dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada juli 2006. Kala itu, Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar nasional. Kemudian, pada 12 September 2007 mesin selesai diperbaiki dan digunakan untuk pesawat rute Jakarta-Balikpapan. Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 Oktober 2007 mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. Batavia menuding anak perusahaan PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang. Saat itu Batavia meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai 300 jam sudah ngadat, akan tetapi GMF menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak Batavia naik pitam. Pada April 2007 Batavia pun menggugat GMF US$ 5 juta (Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu.

            Dengan dasar hasil itu, pada Agustus 2008 Batavia mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, Batavia memiliki hutang perawatan pesawat milik GMF sejak Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut Batavia memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian pesawat, padahal pesawat sudah sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak GMF mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2007. Tapi tak kunjung dilunasi oleh Batavia hingga pertengahan tahun 2008.

            Pada mulanya pihak GMF tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara GMF dan Batavia sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak GMF dengan cara mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh Batavia dengan membawa perkara mesin itu ke pengadilan bisa yang berbanding terbalik dengan perlakuan GMF yang ingin menyelesaikan perkara hutang Batavia dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak GMF bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.

         Menurut Sugeng “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah, Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.
        
           Sekarang, Batavia sudah tidak beroperasi lagi karena Setelah diputuskan pailit, Batavia Air menghentikan kegiatan operasional sejak Kamis (31/1/2013) pukul 00.00 WIB. Manajemen Batavia menyatakan tiket yang sudah terlanjur dibeli akan dibayarkan kembali.


SUMBER

Eddy, Richard. 2010. Aspek Legal Properti Teori, Contoh dan Aplikasinya. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET.
Abdulkadir, Muhammad.1990. Hukum Perikatan.Bandung:PT. Citra Aditya Bhakti.
Kartini Mulyadi, Gunawan Widjja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo, Jakarta, 2003.
Suharnoko. 2004. HUKUM PERJANJIAN Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Santika, Ines Age, Rifqathin Ulfa dan Zhahrul Mar'taus Sholikah. 2015. Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum Wanprestasi Pada Kasus Antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia.  Surakarta: Privat Low Edisi 07 Januari - Juni 2015.
 
Rez Blogger Template by Ipietoon Blogger Template
Marie - The Aristocats 4